GEMA ORKESTRA PANCASILA


GEMA ORKESTRA PANCASILA

 Di tengah teriknya suhu politik pada tahun politik yang sarat dengan berbagai idiom politik yang dapat menyesatkan publik, saling sindir dan jegal para politisi terhadap lawan politiknya, gemuruh viral hoaks yang mengeruhkan dunia maya; sayup-sayup terdengar gema orkestra yang melantunkan bait-bait nilai-nilai mulia bangsa, Pancasila. Dengung kemuliaan nilai-nilai bangsa berhasil menyusup di sela-sela amukan wacana publik yang hampir kehilangan kewarasannya. Kidung tersebut adalah kesepakatan dan disahkannya regulasi yang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UU PTPT).
Berkat kesungguhan dan komitmen negara, pemerintah, dan DPR, dalam hitungan minggu, regulasi tersebut tidak hanya disepakati dan disahkan secara aklamasi oleh semua fraksi di DPR, termasuk fraksi ”oposisi”, tetapi juga dukungan publik dari berbagai kalangan. Ungkapan Azyumardi Azra, intelektual terkemuka yang sangat santun dan bijak, kiranya dapat mewakili suasana kebatinan publik: ”Negara sudah seharusnya bertindak lebih tegas terhadap terorisme, apalagi bagi mereka yang pernah ikut latihan berperang di NIIS, Indonesia harus lebih tegas. Selama ini Indonesia terlalu lunak menghadapi terorisme” (Kompas, Sabtu, 26 Mei 2018).
Orkestra tersebut terasa semakin merdu dan mendayu karena negara tetap membuka ruang bagi masyarakat untuk mengawal dan memberikan catatan kritis dalam pelaksanaannya. Karena itu, pada peringatan Hari Pancasila besok (Jumat, 1 Juni 2018), rakyat tidak hanya disuguhi upacara dan pekik retorika, tetapi juga karya nyata berupa regulasi yang dapat diharapkan meredam aksi teror yang telah merenggut ribuan nyawa dalam beberapa dasawarsa belakangan ini. Namun, UU PTPT, meskipun cukup komprehensif, bukan peluru perak (silver bullet), senjata ampuh, yang dapat menjadi solusi instan menyelesaikan persoalan yang rumit. Oleh karena itu, sangat diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif.
Fenomena itu membuktikan bangsa Indonesia jika bersatu mempunyai energi luar biasa yang mampu mengatasi krisis yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sayangnya, energi itu baru menggelegak jika distimulus oleh tragedi kasatmata, seperti ledakan bom di Surabaya dan sekitarnya yang dilakukan oleh semua anggota keluarga pelaku.
Padahal, ancaman bangsa dan negara yang tidak kalah daya rusaknya adalah proses pembusukan lembaga politik dan negara akibat perilaku korup para pemutus politik dan penyelenggara negara. Namun, karena ancaman itu berkaitan dengan tingkat kenyamanan yang memabukkan, gelegak kesadaran kolektif mereka untuk memadamkan api nafsu korupsi sangat lembek.
Rakyat sangat berharap agar momentum lantunan gita orkestra Pancasila dapat dirawat mengingat agenda pemberantasan terorisme tidak dapat hanya mengandalkan UU PTPT, tetapi harus dilakukan secara menyeluruh. Untuk itu, diperlukan metanarasi (grand story) karena fenomena terorisme di Indonesia mempunyai ideologi ”konter narasi” terhadap Pancasila, bahkan menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan.
Misalnya, pelaku teror dicekoki pemahaman, kematian itu agung. Karena itu, harus lebih memuliakan kematian daripada kehidupan. Kematian adalah seni yang indah untuk dinikmati karena merupakan jalan cepat mencapai tujuan hidup hakiki. Namun, yang juga mengkhawatirkan, mereka berhasil membentuk masyarakat alternatif dengan simbol, atribut, serta narasi-narasi yang menegaskan identitas mereka berbeda dengan lainnya. Aksioma ”kita” dan ”mereka” akan membelah masyarakat.
Banyak kajian menyimpulkan, lahirnya terorisme, meskipun multidimensi, salah satu kausa penting adalah keputusasaan yang disertai dengan jurang menganga antara harapan yang semakin meningkat dan kesempatan yang semakin menyempit. Oleh karena itu, agenda konkretnya bukan melakukan kontemplasi, melainkan harus diawali dengan keberanian melawan perilaku sektarian, diskriminatif, intoleransi, dan politik identitas.
Dalam perspektif makro, terorisme harus dilawan dengan metanarasi yang lebih dahsyat untuk mengungguli kisah yang merupakan dongeng heroisme yang menjadi keyakinan para pelaku terorisme. Selain itu, metanarasi juga sangat diperlukan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan; serta memperjelas posisi bangsa Indonesia dalam tataran global sebagaimana diamanatkan konstitusi, melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bangsa yang tidak mempunyai metanarasi atau tidak memercayai serta menghayati metanarasinya akan linglung, bingung, dan sempoyongan menghadapi dunia yang semakin tidak menentu. Karena itu, para elite bangsa diharapkan agresif menawarkan metanarasi dengan idiom-idiom yang dapat menggerakkan bangsa mewujudkan cita-cita nasional. Momentum bahana orkestra Pancasila jangan dibiarkan menguap begitu saja. Khususnya para pemutus politik harus selalu ingat ancaman yang tidak kalah daya rusaknya selain terorisme, yakni kenyamanan eksesif yang diproduksi perilaku korup.
J KRISTIADI
 Kompas 31 Mei 2018

Post a Comment

Previous Post Next Post