Logo: Forum Libertarian Yogyakarta
Bahan bacaan untuk Diskusi Forum Libertarian Yogyakarta: “Manifesto Kebebasan, Penguatan Demokrasi & Kesejahteraan Masyarakat”
Kebebasan mungkin konsep yang kerap disikapi secara mendua di banyak masyarakat, termasuk di Indonesia. Di satu sisi, kita memiliki begitu banyak bukti—bukan sekadar catatan hasil renungan filosofis atau kajian teoretik—tentang pengorbanan jutaan manusia untuk meraih kebebasan. Atau, secara lebih akurat, merebut kembali kebebasannya yang dirampas oleh pihak lain. Di sisi lain, begitu mudah kita menemukan—dalam berita atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari—adanya pihak-pihak, individu maupun kelompok yang merenggut kebebasan pihak lain dengan segala alasan.
Kebebasan—atau “kemerdekaan” dalam kata bahasa Indonesia yang minimal kita sebut sekali dalam setahun dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan—adalah konsep yang menggambarkan, baik nilai (value) maupun situasi dalam kehidupan manusia. Kebebasan adalah “nilai” karena bersifat naluriah dalam diri setiap manusia. Sifat naluriah kebebasan membuat siapa pun manusia bisa terusik ketika ada pihak lain—individu atau kelompok—bermaksud merenggut kebebasannya secara sewenang-wenang.
Kebebasan adalah sebuah “situasi”. Karena tidak serta-merta terwujud hanya karena seseorang “berpikir bebas” atau “berjiwa bebas.” Sebagai situasi, kebebasan terwujud dalam relasi interpersonal dan sosial yang bersifat sukarela. Setiap orang leluasa merealisasikan hak-nya tanpa ancaman agresipihak lain, apakah individu maupun kelompok.
Tulisan ini menawarkan sebuah perspektif filsafat politik bernama libertarianisme. Filsafat yang meyakini kebebasan sebagai prakondisi yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Secara khusus, pembahasan akan lebih difokuskan pada hubungan antara kebebasan dan demokrasi. Juga, antara kebebasan dan kesejahteraan masyarakat. Ini akan memperlihatkan bahwa peningkatan kebebasan akan berdampak positif, baik terhadap peningkatan kualitas demokrasi maupun kesejahteraan masyarakat, vice versa.
Kebebasan, Hak, dan Kepemilikan
Jika kebebasan adalah situasi di mana seseorang bebas dari agresi dalam merealisasikan haknya, maka apa sebetulnya yang dimaksud sebagai hak? Disadari atau tidak, antipati terhadap kebebasan, salah satunya, terkait dengan kerancuan dalam memahami konsep hak, termasuk atas dasar apa suatu hak direalisasikan.
Hak, secara sederhana, adalah klaim atas sesuatu yang didasarkan argumentasi moral yang sah. Argumentasi moral ini tidak boleh dirancukan dengan argumentasi berdasarkan pengaturan hukum. Karena justru sah atau tidaknya suatu pengaturan hukum—dalam bentuk kontrak atau peraturan pemerintah—ditentukan oleh kekuatan argumentasi moral yang melandasi perumusannya.
Sangat mungkin terjadi, dan memang sering terjadi, suatu kontrak atau undang undang justru mengabaikan hak seseorang dan karenanya layak digugat. Genosida oleh Nazi pada komunitas Yahudi Jerman, misalnya, dilakukan berdasarkan pengaturan undang-undang. Dan, kita tahu, pengaturan semacam itu cacat secara moral.
Lantas bagaimana kita mengetahui bahwa suatu hak didasarkan pada argumentasi moral yang sah? Apakah saya, sebagai contoh, telah menyediakan argumen yang sah ketika menyatakan berhak atas sebuah rumah atas dasar saya membutuhkan rumah itu untuk tempat tinggal? Ataukah klaim saya itu sah hanya jika saya memiliki rumah tersebut?
Libertarianisme, secara konsisten, berpijak pada argumen kepemilikan (ownership). Ini sebagai dasar hak (what each person gets, he gets from others who give it to him in exchange for something, or as a gift). Dengan begitu, menentang sosialisme yang mendasarkan hak pada kebutuhan (from each according to his ability; to each according to his need).
Dalam libertarianisme, kepemilikan yang mendasari hak seseorang terbagi ke dalam dua kategori. Ada “kepemilikan atas diri” (self ownership) dan “kepemilikan atas properti” (property ownership). Kedua kategori ini masing-masing mendasari dua jenis gugus hak. Yakni, hak atas kepemilikan diri (right of self ownership) dan hak atas kepemilikan properti (right of property ownership). Dan kebebasan setiap orang dalam merealisasikan kedua gugus hak tersebut merupakan prakondisi yang niscaya dibutuhkan. Semua dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
- Hak atas Kepemilikan Diri
Hak atas kepemilikan diri adalah hak yang melekat pada kepemilikan seseorang atas tubuhnya sendiri dengan segala unsur kehidupannya. Seketika seorang manusia terlahir ke dunia, maka organ-organ tubuh—dengan segenap pikiran, perasaan, kehendak, roh, nyawa, atau apa pun sebutannya—menjadi bagian yang melekat pada ke-dirian-nya.
Terlepas apakah kelahiran itu dipandang sebagai kehendak ilahiah atau karunia alam, itu bergantung pada apa yang Anda percayai. Satu hal yang bisa dipastikan bersama ialah kehidupan tersebut bukan milik manusia lain. Apakah secara individual atau kolektif, yang kemudian diberikan kepada si individu yang baru terlahir tersebut.
Dengan demikian, kedirian setiap individu yang terlahir ke dunia adalah miliknya sendiri, bukan milik individu lain. Terlepas apakah individu itu adalah seorang nabi, ulama, raja, atau orangtua biologisnya. Bukan pula milik komunitas sosial sekitar seperti keluarga, suku, etnis, umat, masyarakat, bangsa. Bukan pula milik komunitas politik seperti negara apa pun bentuknya.
Konsep right of self ownership ini menjadi basis filosofis bagi apa yang dalam nomenklatur Hak Asasi Manusia (HAM) dikenal sebagai hak-hak sipil dan politik. Hak atas kehidupan, hak untuk tidak disiksa, diperbudak, pikiran, hati nurani, dan agama, berpendapat, berekspresi, berserikat, kehidupan pribadi, dan lain sebagainya.
Kebebasan dalam kerangka self ownership, dengan demikian, adalah situasi di mana setiap individudiakui kepemilikannya atas dirinya-sendiri dengan segala hak yang melekat padanya. Karena klaim kepemilikan diri ini berlaku bagi setiap orang. Dengan sendirinya, setiap orang tidak diperkenankanmengklaim hak atas wilayah kepemilikan diri orang lain.
Ketika seorang individu menerobos wilayah kedirian milik individu lain, maka individu tersebut melakukan pelanggaran kebebasan atau agresi. Misalnya, melarang orang lain menyampaikan pendapat. Membuat orang lain kesulitan beribadah menurut ajaran agama yang ia percayai. Atau memaksa orang lain untuk meyakini atau menjalankan agama yang bertentangan dengan hati nuraninya. Dari sini, kebebasan sebagai pengakuan atas self ownership mengandaikan pula berlakunya sebuah prinsip non-agresi dalam relasi antarindividu.
Sebagaimana akan dibahas di bawah, kebebasan sipil dan kebebasan politik berbasis kepemilikan diri ini adalah fondasi. Ini diperlukan bagi pengembangan sistem hukum untuk meningkatkan kualitas demokrasi sebagai sistem politik berbasis kedaulatan warga.
- Hak atas Kepemilikan Properti
Properti adalah istilah untuk entitas-entitas eksternal individu. Berbeda dari kepemilikan diri yang melekat bersama kelahiran seorang individu, kepemilikan properti melibatkan proses akuisisi awal dan transfer berdasarkan prinsip non-agresi.
Akuisisi awal adalah proses kepemilikan properti dalam bentuk pengerahan tenaga dan sumber daya lain oleh seseorang atas suatu properti yang tidak dimiliki oleh siapa pun, yang secara otomatis tidak bersifat agresi. Adapun transfer adalah proses kepemilikan properti melalui pengalihan klaim kepemilikan atas suatu properti antar-individu. Berlaku secara sukarela, non-agresi, baik dalam bentuk pemberian (warisan, sumbangan, hadiah) atau pertukaran kepemilikan (barter atau perdagangan).
Saya, sebagai contoh, sah dari perspektif moral libertarian, memiliki sebidang tanah yang saya terima. Entah itu sebagai warisan dari orangtua saya, yang juga mendapatkan tanah tersebut sebagai warisan dari orangtuanya, dan seterusnya.
Namun, keabsahan kepemilikan saya atas sebidang tanah tersebut bisa gugur. Itu jika ada pihak lain yang bisa membuktikan bahwa orangtua dari orangtua saya ternyata mendapatkan tanah tersebut dengan merampasnya dari orang lain, yang memiliki tanah tersebut dengan cara yang sah. Misalnya, dengan menukarkan properti yang ia miliki dengan tanah yang dimiliki orang lain dari proses akuisisi awal.
Contoh lain, asumsikan saya adalah seorang pengusaha yang berkepentingan untuk mengeksplorasi sumber daya alam di kawasan yang dihuni oleh suatu kelompok etnis. Kecuali saya bisa membuktikan bahwa kelompok etnis menghuni kawasan tersebut secara tidak sah. Misalnya, merebut dari kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu menghuni kawasan tersebut. Saya harus memperlakukan mereka sebagai pemilik sah atas kawasan tersebut.
Artinya, saya berhak melakukan eksplorasi hanya jika saya mendapatkan izin eksplorasi dari kelompok etnis tersebut. Atau mereka setuju untuk menjual tanah di kawasan eksplorasi kepada saya untuk harga yang disepakati secara sukarela oleh saya dan mereka.
Sesuai dengan prinsip non-agresi, saya tidak sah mengeksplorasi tanpa izin dari kelompok etnis tersebut. Juga jika saya mengklaim kepemilikan atas kawasan itu melalui kekerasan dengan cara. Misalnya, menggunakan jasa gerombolan preman untuk mengusir mereka. Atau mengintimidasi mereka agar menjual kepada saya kawasan yang saya inginkan dengan harga yang murah. Atau melobi pemerintah untuk menerbitkan izin eksplorasi kepada saya tanpa persetujuan kelompok etnis penghuni lahan.
Hak atas kepemilikan properti adalah elemen penting dalam kebebasan ekonomi. Ini memungkinkan terjadinya pertukaran properti di antara para pemilik dalam kompleksitas proses pasar yang sukarela dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang. Sebagaimana akan dibahas di bawah, kebebasan ekonomi menjadi faktor yang sangat menentukan kemampuan individu-individu dalam masyarakat untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Kebebasan Sipil, Kebebasan Politik, dan Demokrasi
Secara generik, demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan warga (people governance) yang mengasumsikan warga sebagai pemilik kedaulatan.
Secara sepintas, gambaran demokrasi seperti ini akan membuat orang cenderung mengasosiasikan demokrasi dengan tersedianya jaminan kebebasan. Asosiasi ini tidak sepenuhnya keliru. Meskipun kita harus sangat berhati-hati dalam memaknai konsep “kebebasan” yang (diasumsikan) terjamin dalam demokrasi tersebut.
Are you a libertarian? (Cato Institute)
David Boaz mengingatkan dalam The Libertarian Mind, demokrasi yang kita terima sebagai sistem politik warisan dari masyarakat Athena, secara intrinsik, memang mengandung nilai kebebasan. Namun, dalam cakupan yang sangat terbatas dibandingkan dari konsep kebebasan yang berkembang dalam era modern.
Merujuk pada Benjamin Constant dalam The Liberty of the Ancients Compared with That of the Moderns, Boaz menulis bahwa kebebasan dalam pemikiran Yunani memiliki arti yang terbatas. Terbatas pada “hak berpartisipasi dalam kehidupan publik, dalam pembuatan keputusan-keputusan untuk keseluruhan komunitas”.
Dalam pengertian kebebasan yang terbatas ini, Athena, sebuah demokrasi, adalah sebuah negeri yang bebas. Karena seluruh warganya—semua laki-laki dewasa yang merdeka—berhak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Dan dalam pengertian ini juga, Socrates adalah orang yang bebas. Karena ia dilibatkan dalam pengambilan keputusan kolektif yang memberikannya vonis mati karena pendapatnya yang dianggap menyimpang.
Sementara konsep kebebasan modern berkembang dengan penekanan pada individu sebagai subjek hak apa pun ras, gender, etnis, atau keyakinannya, demokrasi an sich. Bahkan dengan sistem pemilihan multipartai sekalipun, tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjamin perlindungan kebebasan dalam konsepsi modern.
Kenyataannya, sebagaimana terjadi di banyak negara yang secara nominal adalah demokrasi, kebebasan sipil dan kebebasan politik sering dilanggar atas nama “ketertiban umum”. Sebagaimana kebebasan ekonomi direstriksi atas nama “keadilan sosial.” Dan yang terburuk, banyak diktator—termasuk Hitler—meraih kekuasaan setelah memenangkan pemilihan demokratis.
Dengan membuka ruang bagi individu warga untuk memilih (atau tidak memilih) terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik yang mungkin saja ia anggap penting (atau tidak penting), demokrasi, tentu saja, memiliki nilainya sendiri dalam kerangka kebebasan. Prosedur elektoral demokrasi juga menyediakan proses suksesi kekuasaan yang lebih menjamin perdamaian dibandingkan sistem politik lain.
Namun, menurut libertarian, hak untuk berpartisipasi dalam politik yang secara intrinsik menjadi valuekebebasan dalam demokrasi harus ditempatkan dalam suatu perspektif kebebasan individu yang komprehensif dalam kehidupan sipil dan ekonomi. Tanpa perspektif kebebasan yang komprehensif, demokrasi hanyalah sebuah kolektivisme mayoritarian. Ia cenderung merampas kebebasan individu sebagai satuan minoritas terkecil dalam masyarakat manusia.
Bagi libertarian, isu fundamental dalam politik adalah hubungan antara individu-individu warga dan negara. Berpijak pada pandangan tentang:
- Individu sebagai satuan analisis sosial karena posisinya sebagai satu-satunya agen moral yang membuat keputusan dan mengambil tanggung jawab atas akibat dari keputusan-keputusannya. Karenanya, menjadi pemegang hak yang berdaulat atas diri yang ia miliki sejak lahir dan atas properti yang ia peroleh secara non-agresi.
- Keteraturan spontan yang tercipta dari koordinasi sukarela antara individu-individu dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka masing-masing.
- Kebutuhan akan perlindungan hak-hak individu-individu dari kemungkinan agresi yang merusak sifat sukarela dalam koordinasi antara individu-individu. Libertarian memandang penting keberadaan norma hukum yang melindungi hak-hak individu. Sebuah asosiasi individu-individu berdaulat fungsinya terbatas hanya untuk menegakkan hukum yang melindungi hak-hak individu.
Berbeda dari kaum anarkis, libertarian memandang penting eksistensi negara sebagai penegak hukum. Namun, sebagaimana kaum anarkis, libertarian sangat berhati-hati dengan pemusatan kekuasaan yang cenderung korup. Sehingga keberadaan negara itu sendiri harus tunduk di bawah aturan hukum yang melindungi hak-hak individu warga dengan kewenangan intervensi yang terbatas terhadap kehidupan publik.
Dikenal dengan istilah minimal state, atau limited government, fungsi sebuah negara terbatas hanya untuk melindungi hak-hak warga negara dari agresi oleh negara lain (militer). Melindungi hak-hak warga negara dari agresi oleh sesama warga individual maupun kolektif (polisi). Memberikan kepastian hukum dalam sengketa hak-hak warga negara (pengadilan).
Keberatan mendasar libertarian dalam praktik demokrasi sekarang—yang ditemukan, baik di negara berkembang maupun negara maju—adalah kecenderungan untuk mengintervensi nyaris segala urusan. Ini sebetulnya bisa diselesaikan oleh individu sendiri atau. Jika tidak mungkin, melalui kerja sama antarindividu secara sukarela. Intervensi yang luas ini bukan hanya membahayakan kebebasan sipil dan kebebasan politik, tetapi juga kebebasan ekonomi. Karena tingginya ongkos demokrasi yang harus ditanggung warga pembayar pajak untuk membiayai prosedur politik dan fungsi-fungsi pemerintahan.
Demokrasi, dalam kerangka libertarian, harus dirancang sedemikian rupa. Sehingga tetap memberikan ruang bagi individu-individu untuk membuat keputusan-keputusan terbaik untuk hidup mereka secara otonom (kebebasan sipil dan politik) dan juga rendah biaya. Sehingga tidak membebani produktivitas warga yang akan mengurangi kemampuan warga untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Implikasinya adalah sebuah negara hukum demokratis dengan desentralisasi kewenangan secara radikal yang bukan saja menyediakan perlindungan hukum bagi hak-hak warga. Tetapi, juga memberi ruang otonomi yang luas bagi individu-individu, secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik yang berdampak pada kebebasannya dalam kehidupan sipil maupun ekonomi.
Kebebasan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat
Hubungan antara kebebasan dan kesejahteraan masyarakat kerap diremehkan atau malah tak dianggap sama sekali, terutama di negara-negara yang kuat dipengaruhi oleh Sosialisme. Kebebasan, dalam hal ini kebebasan ekonomi dalam bentuk perlindungan atas property right dan pasar bebas, lebih sering dilihat sebagai bentuk keserakahan yang memperparah kemiskinan ketimbang mengentaskannya. Atau sebagai persaingan brutal yang menggilas usahawan kecil ketimbang sebagai kesempatan bagi setiap orang untuk melakukan pertukaran properti berdasarkan nilai yang disepakati secara sukarela dalam memenuhi kebutuhan masing-masing pelaku pasar.
Socially tolerant & fiscally responsible (The Libertarian Vindicator)
Godaan, atau bahkan tekanan, supaya pemerintah membatasi kepemilikan properti, mengintervensi harga pasar. Menyalurkan subsidi barang atau jasa. Bahkan terlibat dalam penyediaan barang dan jasa kebutuhan masyarakat dan sistem jaminan sosial komprehensif tidak pernah surut. Itu terjadi bukan saja di negara-negara demokrasi berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara demokrasi maju dengan jaminan perlindungan kebebasan sipil dan politik yang kuat seperti Amerika Serikat.
Libertarian sebaliknya berpandangan bahwa perlindungan atas property right dan sistem pertukaran sukarela. Pasar bebas, akan mendorong bukan hanya kesejahteraan individu, tetapi juga kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Apakah ini berarti libertarian menolak sama sekali peran pemerintah dalam perekonomian?
Jelas tidak. Pemerintah memainkan peran yang sangat penting: melindungi hak kepemilikan dan kebebasan pertukaran sehingga harga pasar bisa meningkatkan koordinasi rencana-rencana individual. “Bila pemerintah melampaui peran ini,” kata Boaz, “dengan mencoba memasok barang atau jasa tertentu atau mendorong hasil tertentu, pemerintah bukan hanya tak membantu proses koordinasi, tetapi mendorong kebalikannya—mendiskoordinasinya.”
Salah satu alasan utama kenapa sosialisme gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat ialah tidak adanya milik pribadi. Sehingga tidak ada pemilik yang bisa melakukan pertukaran properti di pasar. Di sinilah tampak pentingnya jaminan kepemilikan oleh swasta. Bahwa masyarakat itu sendiri sebagai faktor kemakmuran yang dihasilkan melalui pertukaran bebas. Ketika orang, secara individual atau bersama-sama, mendapat perlindungan atas hak properti—apakah itu tanah, bangunan, peralatan, atau apa pun—mereka bisa menggunakan properti itu secara maksimal sesuai tujuan-tujuan kesejahteraan yang mereka pilih sendiri.
Adalah menarik untuk dilihat bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat-masyarakat yang wilayahnya kaya sumber daya alam kerap ditemukan di negara-negara di mana perlindungan atas properti sangat kurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Di negara-negara seperti ini, pemerintah—atas nama hajat hidup orang banyak—menguasai dan memiliki kewenangan untuk mempertukarkan kawasan tersebut tanpa persetujuan masyarakat yang secara moral sah memilikinya.
Selain itu, kepemilikan swasta juga lebih terjaga nilainya ketimbang kepemilikan pemerintah. Pemilik swasta cenderung lebih memperhatikan properti mereka. Karena mereka akan menuai keuntungan dari kenaikan nilainya, atau sebaliknya.
Kenaikan nilai ini sulit ditemukan dalam kasus properti publik yang mana tidak ada seorang pun yang merasa menderita kerugian jika nilainya menurun. Situasi ini juga menjelaskan kenapa perawatan pada fasilitas-fasilitas swasta jauh lebih baik daripada fasilitas-fasilitas pemerintah.
Nilai ekonomi suatu aset mencerminkan pendapatan yang akan dihasilkan dari aset itu di masa depan. Dengan demikian, pemilik swasta, yang memiliki hak atas pendapatan tersebut, memiliki insentif untuk selalu menjaga aset tersebut.
Ketika tanah langka dan dimiliki secara pribadi, pemilik akan berusaha untuk mengambil nilai dari sekarang. Juga untuk memastikan bahwa mereka akan dapat terus menerima nilai dari aset itu di masa depan. Itu mengapa perusahaan-perusahaan kayu yang memiliki sendiri tanah mereka—jangan dirancukan dengan izin konsesi pemerintah—tidak memotong semua pohon, tetapi malah menanam lebih banyak lagi pohon untuk menggantikan pohon-pohon yang ditebang.
Mungkin mereka peduli terhadap lingkungan, tapi pendapatan masa depan dari properti mungkin adalah insentif yang lebih kuat. “Di negara-negara sosialis Eropa Timur,” kata Boaz, “di mana pemerintah mengendalikan semua harta benda, yang berarti tidak ada pemilik sungguhan yang mengkhawatirkan nilai masa depan dari properti, polusi, dan kehancuran lingkungan terjadi lebih buruk daripada di Barat.”
Fakta bahwa manusia menghasilkan lebih banyak melalui kerja sama daripada kerja individual adalah alasan kenapa pasar tercipta. Jika kerja sama tidak lebih produktif daripada kerja individual, maka setiap individu bukan saja akan terisolasi dan atomistik, tapi juga “akan dipaksa melihat semua orang sebagai musuh,” kata Ludwig von Mises.
Tanpa kemungkinan saling menguntungkan dari kerja sama, bukan hanya pasar yang tidak akan muncul, tetapi juga simpati dan persahabatan di antara individu-individu. Karena itu, menurut libertarian, selain jaminan atas kepemilikan properti, pemerintah harus memastikan tidak terlibat dalam proses pasar. Sebab itu akan menghambat terjadinya penyediaan barang dan jasa secara efisien untuk sebanyak mungkin orang.
Bukan hal yang sulit untuk dibayangkan bahwa setiap anggota dari sebuah keluarga saling mencintai dan mengetahui secara baik kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Setiap anggota keluarga tahu apa yang seharusnya dikontribusikan dan diterima oleh masing-masing demi kesejahteraan bersama.
Di luar keluarga, adalah hal yang sangat baik jika kita berwelas asih terhadap orang lain. Masalahnya adalah kita tidak akan pernah mencintai semua orang di masyarakat seperti kita mencintai anggota keluarga kita. Atau mengenal kemampuan dan kebutuhan mereka sedalam pengetahuan kita tentang anggota keluarga sendiri. Sehingga membayangkan apa yang seharusnya dikontribusikan dan diterima oleh masing-masing dalam sebuah sistem sosial yang luas dan kompleks menjadi hal yang tak masuk akal.
Dalam suatu ekonomi yang lebih kompleks dari sebuah keluarga inti, sulit untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dan bagaimana kebutuhan itu dipenuhi, oleh siapa dan dengan biaya berapa. Sistem harga pasar menyampaikan informasi ini sebagai agregat dari pilihan bebas dari jutaan produsen, konsumen, dan pemilik sumber daya yang mungkin tak pernah saling bertemu dan berkoordinasi dalam rangka distribusi barang dan jasa. Pengendalian harga merusak akurasi informasi harga. Mendiskoordinasi distribusi barang dan jasa, yang berakibat terganggunya pasokan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Tentu saja, pasar bebas tak selalu menguntungkan setiap orang untuk setiap saat karena sifatnya yang kompetitif dan spontanitas keteraturannya yang tak pilih kasih. Sama seperti eksportir yang beruntung ketika nilai mata uang domestik lebih rendah dibandingkan nilai mata uang asing yang menjadi alat pembayaran, namun mengalami kerugian ketika nilai mata uang domestik lebih tinggi (berkebalikan dari kasus importir). Sebagian orang mengalami periode keuntungan ketika proses penyediaan barang dan jasa berpihak pada keterampilannya, namun merugi ketika keterampilannya tidak dibutuhkan lagi.
Bagaimanapun, ada orang-orang yang memasuki kompetisi usaha dan kerja dengan mental hanya siap untung dan menuntut pasar yang tidak kompetitif. Di negara-negara di mana negara berwenang secara legal untuk mengintervensi pasar, orang-orang yang hanya siap untung ini akan melobi pejabat di parlemen dan eksekutif—dan jika perlu memobilisasi massa—untuk menciptakan regulasi yang mempersulit kemunculan pelaku usaha baru atau mematikan kemajuan bisnis pesaing kuatnya.
Siapa yang paling dirugikan oleh kewenangan intervensionis negara ini? Orang-orang yang akan memulai bisnis. Pelaku usaha menengah, kecil dan mikro. Importir yang tidak memiliki akses terhadap kuota impor. Pencari kerja yang kehilangan peluang mendapatkan pekerjaan. Konsumen yang dihambat pasokan barang dan jasa kebutuhannya.
Sepanjang sejarah manusia, tak terhitung jumlah barang atau jasa yang tidak lagi diproduksi karena tuntutan perkembangan kebutuhan manusia membuatnya menjadi tidak relevan. Bersama proses ini, tak terhitung jumlah usahawan yang bangkrut. Karena proses produksi terhenti dan jumlah orang yang kehilangan mata pencaharian seiring keterampilan mereka yang usang.
Namun, kebutuhan baru juga menuntut pemenuhan baru. Hal ini berarti tercipta pula kesempatan usaha baru, keterampilan baru, dan profesi baru bagi mereka yang selalu meningkatkan kompetensi dan daya adaptasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Inilah creative destruction: jumlah jenis usaha dan lapangan kerja baru yang tercipta lebih banyak daripada jumlah yang hilang.
Meski demikian, penghancuran kreatif seperti ini tidak akan berjalan dengan baik dalam kerangka “negara besar” yang mengurusi nyaris segala hal. Mulai dari dengan siapa seseorang harus menikah. Helm apa yang harus digunakan pemotor. Berapa masjid, gereja, dan rumah ibadah lain yang harusdibangun. Barang atau jasa apa yang harus disubsidi.
Ke mana pasokan barang harus dialirkan. Lahan mana yang harus dikosongkan untuk pembangunan infrastruktur. Berapa jumlah hunian yang harus disiapkan untuk relokasi dengan segala fasilitas pendukungnya. Hingga standar jenis obat dan ruang kamar rumah sakit yang harus digunakan oleh pasien peserta sistem jaminan sosial. Seluruhnya berimplikasi pada tingginya biaya proses politik dan pelayanan birokrasi.
Sejak disadari bahwa negara tidak pernah betul-betul memiliki uang, maka keseluruhan ongkos tersebut menjadi beban pajak yang dibayar warga negara. Beban pajak ini mengurangi kemampuan warga negara untuk mengalokasikan dana yang ia miliki untuk menabung, meningkatkan kompetensi sesuai bakat dan minatnya, membuka bisnis, membeli aset produktif atau membelanjakannya ke barang-barang yang sesuai dengan tujuan-tujuan kesejahteraannya.
Referensi
- David Boaz, The Libertarian Mind: A Manifesto for Freedom (Simon and Schuster, 2015)
- Murray N. Rothbard, For A New Liberty: The Libertarian Manifesto (Ludwig von Mises Institute, 2006)
- Stefan Melnik, Freedom, Prosperity, and the Struggle for Democracy (liberal Verlag GmBH, 2004)
https://nalarpolitik.com/kebebasan-demokrasi-dan-kesejahteraan-masyarakat/
إرسال تعليق